Jakarta, wartasatu.id – “Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI menyuarakan keberatannya terhadap langkah KPK yang menetapkan dua perwira TNI aktif sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Keduanya adalah Kabasarnas 2021-2023 Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Letkol (Adm) Afri Budi Cahyanto, yang bertugas sebagai Koorsmin Kabasarnas.
Dalam konferensi pers yang digelar oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, pada Rabu (26/7/2023), kedua perwira tersebut diduga menerima suap sekitar Rp88,3 miliar dari beberapa pemenang proyek di Basarnas 2021-2023. Namun, Mabes TNI menunjukkan reaksi berbeda terhadap penetapan tersangka oleh KPK.
Danpuspom TNI, Marsekal Muda TNI R Agung Handoko, menyatakan keberatannya terhadap penetapan kedua perwira tersebut sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Agung mengatakan bahwa TNI juga memiliki aparat penegak hukum sendiri, yaitu Polisi Militer, dan memiliki aturan serta ketentuan tersendiri untuk prajurit TNI yang diduga melanggar hukum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI serta UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
“Mekanisme penetapan sebagai tersangka ini adalah kewenangan TNI, sebagaimana dalam UU yang berlaku. Intinya kita saling menghormati, TNI punya aturan, KPK sebagai hukum umum juga punya aturan,” ujar Agung dalam konferensi pers di Mabes TNI, Jumat (28/7/2023). “Kami sebagai aparat TNI tidak dapat menetapkan orang sipil sebagai tersangka, dan kami berharap pihak KPK juga memahami hal tersebut,” tambahnya.
Kababinkum TNI, Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro, menjelaskan bahwa di Indonesia terdapat empat jenis peradilan, yakni Peradilan Umum, Militer, Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Untuk Peradilan Militer, diatur melalui UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer. Oleh karena itu, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, termasuk prajurit aktif, tunduk pada UU tersebut serta UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam UU Peradilan Militer, dijelaskan tentang proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan eksekusi. Penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan oleh tiga pihak, yaitu Ankum (atasan yang berhak menghukum), Polisi Militer, dan Oditor Militer. Selain ketiga pihak tersebut, tidak ada yang memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan.
Kresno menegaskan bahwa prajurit TNI tidak kebal hukum dan tetap tunduk pada hukum. Namun, proses hukum bagi militer memiliki prosedur dan aturan yang berbeda. Dalam beberapa kasus korupsi sebelumnya yang melibatkan oknum TNI, penanganannya dilakukan secara terpisah. Dalam proses penyidikan oleh KPK, oknum TNI tetap diperiksa di ruang yang sama dengan Puspom TNI, tetapi pemeriksaannya dilakukan oleh Puspom TNI.
Dengan demikian, prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 65 ayat (2) UU TNI. Pasal 89 UU KUHAP juga menjelaskan tentang koneksitas antara lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Proses penyidikan, penangkapan, dan penahanan bagi militer diatur dalam Bab IV Hukum Acara Pidana Militer.”
Setelah reaksi dari Puspom TNI terhadap penetapan dua perwira TNI sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas, situasi semakin menegangkan. KPK sebagai lembaga penegak hukum umum dan TNI sebagai institusi militer memiliki pandangan yang berbeda mengenai kewenangan dan prosedur hukum yang berlaku.
Situasi ini semakin rumit karena keduanya memiliki dasar hukum yang berbeda. KPK berupaya untuk memerangi korupsi di semua lapisan masyarakat, termasuk di lingkungan militer, dengan mengungkap dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan oknum TNI aktif. Namun, TNI merasa memiliki aturan dan mekanisme sendiri dalam menangani anggotanya yang terlibat dalam kasus hukum.
Polemik ini pun menjadi perbincangan hangat di masyarakat, dengan pendapat yang terbagi antara mendukung langkah KPK dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu, dan yang berpendapat bahwa TNI seharusnya diatur oleh hukum militer sendiri tanpa campur tangan lembaga hukum umum.
Untuk mengatasi ketegangan ini, diperlukan dialog dan koordinasi yang baik antara KPK dan TNI. Masing-masing pihak perlu menghormati dan memahami kewenangan serta peraturan yang berlaku di kedua lembaga. Upaya bersama untuk menyelesaikan perbedaan pandangan akan menjadi langkah positif untuk menciptakan kerjasama yang harmonis dalam menjalankan fungsi masing-masing.
Namun, tetap penting untuk menegaskan bahwa prajurit TNI, sebagaimana warga negara lainnya, harus tunduk pada hukum dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Tidak ada yang dikecualikan dari hukum, dan semua harus diperlakukan sama di mata hukum, tanpa pandang jabatan atau kedudukan.
Kasus ini juga menjadi peluang bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap sistem hukum yang berlaku di institusi militer. Apakah sistem ini sudah memadai untuk menangani kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anggota TNI atau perlu dilakukan perubahan untuk lebih memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Semoga masalah ini dapat diselesaikan dengan bijaksana dan menghasilkan langkah-langkah positif untuk memperkuat penegakan hukum dan pencegahan korupsi di berbagai sektor, termasuk di dalam institusi militer. Perjuangan melawan korupsi adalah tanggung jawab bersama, dan sinergi antara lembaga penegak hukum dan instansi lainnya adalah kunci dalam mencapai tujuan bersama untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.