Rahasia dari TPST Piyungan

Yogyakarta, Wartasatu.id – “Rasa kepuasan membuat orang miskin adalah seseorang yang kaya, sementara rasa ketidakpuasan membuat orang-orang kaya menjadi seorang yang miskin”, kutipan dari Benjamin Franklin yang terpatri dijiwa Kusmiantoro. Bukan keluhan yang selalu ia lontarkan. Namun, hanya tawa yang menggerus dada ketika aroma semerbak dari tumpukan sampah raksasa melewati indra penciumanya. Lelaki paruh baya bertubuh gempal itu sudah kebal dengan bebauan khas Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Keluhan Tak Bersuara

Tidak kurang dari 24 jam sehari lelaki perkasa berumur 55 tahun itu bersinggungan dengan sampah dan segala kegelisahannya. Pasalnya, gubuk saksi dari perjuangannya berada tak lebih dari 20 meter dari TPST Piyungan. Gubuk sederhana tersebut menjadi tempat bernaung istri dan empat buah hati dari lelaki yang kerap dipanggil Kus itu. Sialnya, adanya TPST Piyungan berdampak pula pada rusaknya kualitas air tanah daerah sekitar. Tidak nyaman ? itu pasti. Namun apa daya, sudah 27 tahun TPST itu memaksa Kus dan keluarga kecilnya menerima segala kepahitan tersebut.

Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Piyungan merenggut 12,5 hektar lahan yang dahulu merupakan pekarangan rindang milik warga. Tanah yang mulanya hijau, rindang, nan sejuk, kini menjadi sebuah bukit sampah raksasa yang setiap harinya bertambah 500ton sampah tak bertuan. Bahkan sekaligus menjadi tempat bermain dan mencari makan ratusan sapi ternak milik warga. Sebuah realita yang memaksa keluarga kecil Kusmiantoro tersedak oleh aroma sampah disetiap tarikan nafasnya.

Sebagai rakyat awam yang bahkan tidak meluluskan pendidikan Sekolah Dasarnya, Kus hanya dapat pasrah dan menerima. Lelaki paruh baya itu justru mengubah TPST Piyungan menjadi mata pencaharian utamanya sebagai pemulung. Bukan keinginannya, namun keadaan yang memaksa. Baginya, tempat sampah ini adalah rezeki untuk keluarganya. Meski ketika mengatakannya ia sembari menghirup udara yang penuh dengan jutaan penyakit.

“Mau bagaimana lagi, semua sudah terlanjur seperti ini. Kami orang kecil hanya butuh diperdulikan saja kesehatannya,” letup Kus sembari tertawa menghisap sebatang rokoknya.

Kantorku, Tempat Sampahmu

Ketika orang – orang dikota menggunakan setelan jas dan sepatu bagus untuk bekerja, Kus cukup menggunakan sepatu boots lama kesayangannya dan baju seadanya. Asalkan apa yang ia kenakan mampu meredam panas terik matahari, itulah yang Kus gunakan memulung. Mulai beranjak dari rumah saat fajar terbit, dan pulang ketika ufuk barat mulai menawarkan gelap malam. Sahabat yang selalu menemaninya memulung ialah sebatang rokok kretek di sela jari tengah dan telunjuknya.

Musim kemarau dan musim penghujan adalah musuh dari pekerjaannya. Ya, memang kenyataannya segala yang ia kerjakan merupakan musuh yang ia anggap sebagai sahabat. Saat musim kemarau menemani, panasnya terik matahari serasa membakar kulit seorang Kus yang sedang mengais rezeki di bukit sampah raksasa. Itupun masih ditambah dengan aroma limbah rumah tangga yang menguap karena panas terhirup segar dihidung kuatnya. Penghujan, bukan pula solusi dari segala kesengsaraanya, justru semakin mempersulit Kus untuk mencari sampah – sampah favoritnya. Bebarengan dengan aroma khas sampah basah dan kotoran sapi, pijakan untuk kaki kekarnya pun menjadi lumpur sampah yang sulit diinjak. Menurut Kus, semua itu ialah cara Tuhan untuk mencoba umatnya dan harus disyukuri.

Sulitnya bekerja tidak menjamin besarnya penghasilan. Itulah yang lelaki dengan empat anak ini rasakan. Cucuran keringat, letih dan bau dari tubuh gempalnya tak menjamin penghasilan yang pasti, dan tidak pernah bisa diprediksi. Tujuan mulia seorang Kusmiantoro hanyalah dapat membuat dapur rumahnya mengepul setiap hari dan dapat membiayai anaknya sekolah. Kus sendiri tidak memiliki pengepul khusus, ia menjual hasil memulungnya kepada pengepul yang berani membeli dengan harga terbaik pada hari itu.

Ancaman Sisi Kesehatan

Menurut Rafael, seorang mahasiswa kesehatan yang sedang magang di kantor TPST Piyungan, tingkat kesehatan udara di daerah Piyungan sangatlah rendah. Bukan hanya itu, kondisi tanah dan air tanah semua tak layak pakai akibat tercemar tumpukan sampah. Hal-hal tersebut mengakibatkan sisi kesehatan seluruh masyarakat sekitar Piyungan terancam bahaya. Penyakit kulit dan pernafasan sudah siap menyambangi tubuh masyarakat setiap detiknya.

Tentu, bekerja pula tak selamanya lancar, apalagi di tempat sampah terbesar di DIY tersebut. Sakit sudah menjadi hal biasa untuk Kus. Kebiasaan menghirup udara tidak sehat membuatnya memiliki gangguan kesehatan pada organ pernafasannya. Tempat kotor yang menjadi tempatnya bernaung setiap hari itu pun turut menyumbang penyakit kulit langganan di tubuh gempal seorang Kusmiantoro. Hal tersebut bukan hanya Kus rasakan sendiri, namun seluruh pekerja/pemulung dan warga sekitar TPST Piyungan turut menjadi korban. Beruntung, dinas setempat yang awalnya menjamin seluruh kesehatan warga sekitar TPST Piyungan, kini terkadang masih sudi untuk peduli terhadap kesehatan warga Piyungan.

“Kami sudah tak masalah dengan adanya tempat sampah ini, kami juga tidak masalah dengan segala ketidaknyamanan karena adanya ini. Tapi, kami hanya berharap supaya pihak dinas memenuhi segala janji yang diutarakan pada awal rencana pembuatan TPST ini. Kami butuh jaminan kesehatan, kami hanyalah membutuhkan itu. Kasihan keluarga kami, tetangga kami, dan warga sekitar TPST yang menjadi langganan penyakit”, ungkap Kusmiantoro sembari memberikan tatapan kosong menuju bukit sampah.

Ya, Kusmiantoro hanyalah satu dari ratusan pemulung lainnya di TPST Piyungan, dan dia pula hanya satu dari sekian banyak warga yang bermukim di sekitar tempat tersebut. Namun, harapan dan keluh kesahnya merupakan suara dari mayoritas pemulung dan warga setempat. Mereka hanya membutuhkan kepedulian Pemerintah kepada nasib mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *