Melestarikan Wayang Kulit di Era Krisis Kebudayaan

Yogyakarta – Wartasatu.id – Berbicara mengenai budaya di Indonesia tentu tak pernah ada habisnya. Salah satu budaya yang telah menjadi identitas bangsa Indonesia yaitu wayang kulit tradisional. Wayang kulit merupakan alat peraga dalam sebuah pertunjukan pewayangan suku Jawa yang dimainkan oleh seorang dalang, dengan diiringi oleh musik gamelan dan tembang yang dinyanyikan oleh seorang sinden. Wayang Kulit menggambarkan tokoh – tokoh di dunia pewayangan dengan berbagai macam karakternya.

Suprih Pemilik Rumah Kerajinan

Wayang kulit pernah menjadi tontonan dan hiburan tradisional favorit pada zamannya. Namun kini era keemasan wayang kulit mulai berubah menjadi era keterpurukan karena tergusur oleh modernisasi. Hanya segelintir orang yang masih peduli terhadap kelestarian wayang kulit. Salah satunya ialah Suprih (59) yang merupakan pemilik dari Rumah Kerajinan Wayang Kulit Pak Suprih. Lelaki paruh baya asal Dusun Gendeng, Desa Bangunjiwo, kecamatan Kasihan, Bantul tersebut telah puluhan tahun menggeluti bidang kerajinan wayang kulit.

Menurut Suprih, kini masyarakat telah mengesampingkan keberadaan wayang dan lebih peduli terhadap daring mereka masing-masing. Dahulu orang-orang datang memesan tokoh wayang kulit sesuai dengan keinginan mereka sebagai koleksi. Tidak hanya dari domestik, pemesan wayang kulit Suprih juga tidak sedikit yang dari mancanegara. Namun beberapa tahun belakangan ini, Suprih tidak lagi banyak menerima pesanan.
“Sekarang produksi wayang kulit ditempat saya sudah tidak lagi sebanyak dahulu. Orang – orang mulai tidak peduli dengan identitas bangsa mereka, khususnya masyarakat Jawa terhadap wayang kulit. Omset kita menurun tajam semenjak 10 tahun terakhir, tapi kita tetap selalu berusaha untuk ada untuk pecinta wayang kulit,” tutur Suprih ketika ditemui dikediamannya.
Rumah Kerajinan Wayang Kulit Pak Suprih memiliki dua pekerja, yaitu Jati (60) sebagai pemahat dan Parjiono (46) sebagai pengecat. Proses pembuatan sebuah wayang kulit berukuran standar membutuhkan waktu dua minggu penggarapan. Menggunakan kulit kerbau atau kulit sapi sebagai bahan dasarnya. Kemudian kulit utuh tersebut direndam satu malam di sungai, dikeringkan, lalu dibersihkan bulu-bulunya hingga menjadi kulit yang siap melewati proses penatahan atau pemahatan.
“Pembuatan wayang kulit tidak ada yang gampang prosesnya. Butuh kesabaran dan ketelitian ekstra kalau belum terbiasa. Tetapi masyarakat sekarang kurang bisa menghargai budayanya sendiri itu,”keluh Jati sembari menatah kulit kerbau kering di teras rumah Suprih.
“Sekarang wayang tidak lagi menjadi idola, padahal wayang pernah menjadi pertunjukan yang sangat ditunggu masyarakat setiap bulannya,” tambah Parjiono yang sedang mengecat sebuah tokoh wayang.
Proses penatahan dilakukan Jati selama 4 hingga 6 hari pengerjaan, tergantung tingkat kesulitan tokoh yang digarap. Setelah itu dilanjutkan Parjiono dalam proses pengecatan yang memakan waktu kurang lebih 5 hari setiap tokohnya. Proses penyelesaian dan pengemasan dilakukan oleh Suprih. Rumah Kerajinan Wayang Kulit Pak Suprih hanya mematok harga Rp. 400.000 hingga Rp. 1.500.000 setiap tokoh wayang dengan ukuran standar. Tidak hanya wayang biasa, Suprih juga memproduksi souvenir – souvenir wayang kecil sebagai oleh-oleh khas Jawa.

 

 

“Sudah sepantasnya masyarakat Jawa khususnya, kembali peduli terhadap budayanya. Jangan menjadi orang Jawa yang hilang Jawanya. Kita diwariskan sebuah kebudayaan yang sakral dan istimewa oleh leluhur kita, kita juga yang harus melestarikannya,”ungkap Suprih sembari menghisap batang rokok disela jarinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *